Translate

Friday, December 5, 2014

UANG DARI HASIL HANJELI PENGGANTI PADI

Hanjeli Pulut/Job's tears, Coix lacryma-jobi L. Anjalai (sumbar),Perasa (Plg), Jelim (Aceh), Jali  (Betawi).Hanjeli mengandung Carbohydrat 76,4 %, Protein 14,1 %, rich with Vegetable fat content 7,9 % dan Calcium 5,4 %.             
Hanjeli adalah nama populer di daerah Sunda (Jawa Barat) untuk tanaman bernama ilmiah Coix lacryma-jobi (beberapa literatur menulisnya sebagai lachryma-jobi). Nama populer di Indonesia adalah jali atau jali-jali. Dalam bahasa Inggris disebut Job’s tears, diambil dari nama Job (Nabi Ayyub a.s.) yang luar biasa kesabarannya menghadapi ujian kesengsaraan. Di Filipina dikenal sebagai adlay. Kadang-kadang biji hanjeli disebut juga sebagai Chinese pearl-barley, walaupun istilah ini bisa misleading karena tanaman ini bukanlah barley (Hordeum vulgare).

Harga gabah kering dari tangan petani sekira Rp. 1.200 sampai Rp. 1.500/Kg, sedangkan hanjeli mentah harganya Rp.1.500/kg, setelah diproses menjadi bubur hanjeli seharga Rp.3.000/Kg.  Harga hanjeli yang menggiurkan itu membuat para petani desa Sukarasa meninggalkan padi.
Bagi masyarakat Indonesia, padi atau beras menjadi bahan pangan pokok utama untuk pemenuhan kandungan karbohidrat. Padahal, sumber karbohidrat tidak hanya terdapat pada padi sebagai salah satu tanaman serealia. Bahkan, bila dilihat dari konsumsi pangan dunia, padi hanya menduduki nomor empat dalam pemenuhan pangan global. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan bahan pangan pokok alternatif lain selain padi. Salah satu jenisnya yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah hanjeli.
“Kalau kita tetap berpikir pangan pokok itu harus padi, berat beban untuk padi.  Padi ini jadi mempunyai nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politis yang sangat berat. Kalau terjadi sesuatu misalnya bencana alam, banjir, kekeringan yang menyebabkan gagal panen maupun serangan hama yang eksplosif, produksi padinya menurun, pangan lain tidak akan bisa menunjang. Untuk itu kita siapkan atau mengadakan tanaman pokok lain yang setara dengan padi, yang penting karbohidratnya terpenuhi, ” ungkap guru besar Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad, Prof. Dr. Hj. Tati Nurmala.
Prof. Tati  saat ditemui di Fakultas Pertanian, Jatinangor, Jum’at (24/05) lalu mengungkapkan, ada jenis serealia lain yang sudah sejak lama tumbuh di Indonesia seperti sorgum, jewawut, hanjeli yang ternyata sangat potensial dan tumbuh merata hampir di semua provinsi. Selain pemeliharaan dan penanamannya lebih mudah, dilihat dari segi kandungan nutrisinya juga tidak kalah dengan padi.
Sayangnya, lanjut Prof. Tati, bahan pangan lokal ini masih langka, dan sebagai tanaman sumber karbohidrat selain padi, pamornya masih kalah dengan terigu. Padahal, untuk bahan pangan alternatif, aneka tanaman pangan lokal ini memiliki kadar gizi yang tidak kalah serta memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia karena bisa tumbuh di lahan marjinal dengan iklim kering sekalipun.
Sebagai ahli agronomi tanaman pangan yang fokus di tanaman pangan alternatif, Prof. Tati bertekad untuk terus memasyarakatkan potensi tananman lokal sebagai bahan pangan pokok alternatif baik melalui buku maupun pada seminar-seminar. Salah satu bukunya dengan judul “Serealia – Sumber Karbohidrat Utama” banyak digunakan sebagai refrensi dalam membahas tanaman pangan alternatif bagi para akademisi maupun pemerhati dunia pertanian.
Keseriusannya bergelut di bidang pangan alternatif ini bermula pada tahun 1974 ketika ia melakukan penelitian untuk studi S-1 hingga berlanjut ke S-3 mengenai tanaman serealia, yaitu gandum. Karena merasa prospek gandum dirasa kurang menjanjikan dan hanya “iming-iming” saja, maka pada tahun 1986 ia mulai beralih untuk menekuni jenis serealia lain, yaitu hanjeli.
Hanjeli yang berasal dari Asia Tenggara ini sudah berkembang di beberapa negara seperti Malaysia dan Filipina. Di Indonesia, hanjeli terdapat di hampir seluruh provinsi dan banyak dimanfaatkan sebagai makanan camilan atau dikonsumsi pada masa paceklik. “Sayangnya tanamannya tidak ditanam dengan serius,” ungkap Prof. Tati.
Di Jawa Barat, tanaman ini ditanam petani masih secara konvensional sebagai tanaman langka, dan dapat ditemukan di Punclut Kabupaten Bandung, Cipongkor, Gunung Halu, Kiarapayung, Rancakalong , Tanjungsari Kabupaten Sumedang, Sukabumi, Garut, Ciamis dan Indramayu. Masyarakat setempat sudah biasa menikmatinya hasil olahan hanjeli ini sebagai bubur, tape, dodol dan sebagainya. Selain sebagai sumber pangan pokok, hanjeli juga sangat potensial sebagai tanaman obat.
“Bagian yang menarik adalah bijinya yang mengandung gizi setara dengan beras, yakni dalam 100 gr bahan terdapat karbohidrat (76,4 %), protein (14,1 %), bahkan kaya dengan kandungan lemak nabati (7,9 %) dan kalsium yang tinggi (54,0 mgr),” jelasnya.
Sayangnya, banyak petani yang masih enggan  menanam hanjeli, padahal mereka sudah mengetahui dari dulu kegunaannya sebagai bahan pangan. Petani masih mengangap tanaman hanjeli berumur panjang, bijinya keras sehinga susah untuk diolah.
“Petani itu hanya butuh bimbingan dan motivasi. Saat ini, saya sudah  mendapatkan empat genotif hanjeli dari hasil seleksi di berbagai wilayah di Jawa Barat, yang layak untuk tanaman pangan. Kenapa ini disebut layak? Karena umurnya genjah, mudah pecah dan disosok,  serta rasanya seperti ketan. Hanjeli ini yang disebut hanjeli pulut yang siap dikembangkan sebagai tananman pokok. Apabila dibutuhkan, benihnya di kita ada, dan kita siap membantu,” tuturnya.
Menurut Prof. Tati, memasyarakatkan dan mensosialisasikan hanjeli memang tidak mudah. Prof. Tati yang juga menjabat sebagai Ketua Program Magister Ilmu Tanaman di Fakultas Pertanian Unpad ini menjelaskan, bahwa pengadaan bahan pangan alternatif harus didorong terus menerus dari hulu ke hilir. Ia tak henti dan bertekad untuk terus membimbing petani mulai dari produksi hingga pemanfaatannya, mulai dari pembinaan baik demontrasi plot, pengolahanya, rasanya, pengemasanya hingga mengusahakan tata niaganya.
“Pasar itu sebenarnya sudah tersedia meskipun masih black market. Bahkan di beberapa supermarket ada yang menjual produk hanjeli RRC, harganya kurang lebih Rp 120.000,00 per kilo. Sedangkan di daerah Punclut Lembang, Kabupaten Bandung, hanjeli lokal harga per kilonya berkisar Rp 20.000,00 hingga Rp 25.000,00 di petani setempat,” jelasnya.
Ia juga memaparkan bahwa sampai saat ini, masalah tata niaga hanjeli memang masih menjadi dilema. Menurutnya, hanjeli ini masih langka dan sampai saat ini masih banyak orang yang memanfaatkan hanjeli ini bukan sekedar bahan pangan pokok, melainkan sebagai bahan pangan herbal karena kandungan gizinya.
Sebenarnya, menurut Prof. Tati, apabila hanjeli ini bisa memasyarakat dengan harga mendekati harga beras yang cukup buat konsumen, petani tidak keberatan. Mereka sudah mendapat untung apabila dilihat dari biaya usaha tani, apalagi budi daya hanjeli tidak seintensif padi. Sehingga, apabila hanjeli ini sudah tersosialisasikan dengan baik di masyarakat,  hanjeli ini kedepannya akan menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan ketahanan pangan dan diversifikasi pangan menuju ketahanan pangan mandiri. 

No comments: